Selasa, 21 Januari 2014

Nada dalam Diam

Namaku Nada.
Belum genap 23 tahun.
Aku mempunyai dua orang sahabat.
Aku mengenal mereka sejak berlarian dibawah guyur hujan adalah salah satu hal terhebat yang bisa kau lakukan.
Kami dipersatukan oleh... Tak perlu kujelaskan.
Aku mengenal mereka jauh sebelum aku mengenal cinta.
Aku menyayangi mereka.
Aku tahu semua kebiasaan mereka.
Aku juga kenal semua sifat tabiat mereka.

Lalu disuatu saat yang tak kuduga, aku menyukai dia.
Dan dia.
Ya, tentu aku egois. Aku menyukai keduanya.
Hanya saja, aku tak pernah sekalipun mengungkapkan apa yang kurasa.
Tentang dia. Begitu juga tentang dia.
Keraguan. Itulah penyebabnya.
Aku takut bahwa perasaanku mungkin bukan cinta.
Bagaimana jika perasaanku hanya sekadar keegoisan untuk terus memiliki mereka dalam hidupku?
Aku pernah melarikan perasaanku pada beberapa pria. Tapi itu tak pernah berhasil.

Mereka selalu ada.
Dan aku selalu tak pernah bisa berterus terang.

Bahkan ketika kami kembali dipertemukan semesta pada sebuah pertemuan tak terduga sejak terakhir kali bertemu di bangku sekolah dasar, aku tak bisa berkata-kata.
Kulihat ia bersama seorang gadis.
Lalu ia ditarik menjauhi keramaian oleh seorang gadis.

Hanya tersenyum simpul, sesaat. Lalu segera menghilang pergi.

Mereka tidak melihatku.

Aku hanya takut, jika dekat dengan mereka, mereka bisa mendengar irama jantungku.
Lalu akhirnya dia memiliki kekasih. Aku tak kenal gadis itu.
Dan dia pun memiliki pujaan hati. Aku kenal gadis itu. Sungguh sempurna menyandingkan mereka.
Aku mencoba ikut bahagia.
Aku putuskan untuk menjaga sucinya perasaan yang kupunya ini untuk mereka. Bukan seperti yang pernah kulakukan dulu, ketika kata dan perasaan suci itu berhamburan dimana-mana.
Aku masih memendamnya. Sembari menanti akhir ceritanya...

*

Namaku Dewa. Duapuluh empat angka ku.
Aku mempunyai dua orang sahabat.
Dua dunia yang berbeda bagi kami bertiga.
Kami saling mengenal sejak 'cinta' masih sebuah adonan tanah liat yang kami bagi rata.
Aku mengenal betul kebiasaannya, dan kesukaannya.
Kami berpelukan, dan berpegangan tangan. Tak ada rasa.

Dia sangat indah. Dengan rambut hitam nya yang lebih sering terurai bebas.
Sedangkan dia sangat menawan. Rasanya tiada yang tak jatuh hati padanya. Dia pun sepertinya rela melakukan apa saja agar kami selalu bisa bermain bahagia bersama tanpa gangguan 'anak kecil' lainnya.
Layaknya anak kecil biasa, menjaga 'mainan kesayangan'nya agar tak terlepas jauh darinya.
Hingga suatu ketika, aku mengenalnya, dalam keinginan memiliki.
Harapan memiliki untuk saling membahagiakan, dalam janji yang lebih suci.

Sudah sangat lama kami tak berjumpa. Tanpa komunikasi. Tanpa saling mencoba memberi kabar.
Namun ketika takdir mempertemukan kembali kami bertiga... dari kejauhan kulihat dia. Dan juga dia.

Mengapa kau hanya tersenyum di kejauhan?

Mengapa kau tak menahannya untuk kita?

Mengapa aku membatu di sudut ini?

Lalu ia pun menghilang pergi...

Hai gadis sendu ku, apa yang telah kau lewati seorang diri?

Aku masih terpaku melihat semuanya menghilang.

*

Namaku Elang.
Tuhan masih menganugerahkan ku kehidupan di angka duapuluh empat ini dua bulan yang lalu.
Aku mempunyai dua orang sahabat.
Kami selalu bersama. Mungkin seperti di dalam cerita-cerita.
Sejak kapan kami saling mengenal?
Entahlah, aku tak menghitungnya...

Sudah sangat lama kami saling mengenal.
Namun disuatu ketika... ketika aku mulai menginginkannya lebih daripada yang pernah kurasa...
ketika aku menginginkannya untuk kubahagiakan
kami dipisahkan pada sebuah jarak dan kehidupan masing-masing.

Aku. Dia. Dan dia.

Dia yang rupawan. Baik. Pandai. Seperti seorang yang sempurna bagiku.
Dan dia, lebih sempurna.
Jika ditanya, siapakah seseorang yang sedang kau pikirkan?
Maka otakku hanya akan terlintas dia, gadis periang yang kulihat selalu tersenyum dan tertawa bahagia ketika kami bersama.
Tapi itu dulu. Ketika kami bertiga masih bersama.
Ketika jarak belum memisahkan.
Ketika sesaknya kehidupan belum menghampiri.

Ketika Tuhan membawaku melangkah menuju keramaian itu, aku melihat mereka.
Aku melihatnya juga bersama seseorang.
Namun dia sendirian. Masih dengan rambut hitamnya yang bebas terurai seperti waktu dulu.

Apakah kalian melihatku?

Mengapa kita tak saling mendekat dan menjalin kembali semuanya?

Sesaat aku melihat gadis itu pergi dengan seorang pria lain.

Ternyata ia tak datang bersama gadis itu.

Aku hendak berjalan mendekati mereka ketika seorang pria yang lebih besar tiba-tiba merangsek ke barisan di depanku. Tepat di detik berikutnya, aku melihat wajah itu.

Kenapa kau memberiku senyum dengan kesedihan, hai gadis indah ku?

Mengapa kau hanya terdiam di sana?

Detik berikutnya, aku kehilangan kedua sosok itu.

2 komentar: