Minggu, 23 November 2014

Duapuluh Tiga yang ke Duapuluh Dua Kalinya

Apa harus aku menulis di sini? Aku ingin tahu ada berapa banyak orang yang menulis seperti ini pada hari ulang tahunnya, dan yang mengucapkan selamat ulang tahun untuk dirinya sendiri seperti yang akan aku lakaukan sekarang.

Ya, menurut perhitungan dunia ini, umurku sekarang duapuluh dua tahun. Aku selalu terngiang lirik sebuah lagu yang selama beberapa bulan ini berulang kali siang malam kuputar. Liriknya berbunyi, "Umur bertambah, usia berkurang...". Liriknya singkat, cukup sederhana, tapi aku sangat suka, karena itu tepat dan sangat mengganggu pikiranku. Entahlah. Usiaku? Entah aku juga tak tahu. Tapi sebenarnya aku sudah cukup lama berumur duapuluh dua tahun ini. Aku menghitung-hitung dengan penanggalan Islam, yang setiap tahunnya maju sebelas hari lebih dulu dari perhitungan kalender matahari. Setelah ku kali perhitungan sebelas hari tersebut dengan jumlah 22 tahun yang sudah ada ini, yang artinya bernilai 242 hari, perhitungan kalender Islam menyimpulkan aku sudah berumur 22 tahun ini terhitung sejak 123 hari yang lalu (didapatkan dari hasil pengurangan jumlah hari dalam satu tahun, 365 hari, dengan 242 hari yang selisih).

Entah apa yang harus kutuliskan disini. Ini bukan pidato resmi di sebuah podium, ini hanya sebuah tulisan di sebuah hari ulang tahun. Sebuah tulisan yang ingin berucap syukur bahwa masih diberi kesempatan bertemu tanggal 23 untuk yang ke-22 kalinya. Mungkin aku akan bercerita saja. Sehari kemarin tanggal 22 November, sehari sebelum "secara resmi" (begitu kata mereka), tak banyak yang kulakukan. Sejak bangun pagi, aku sudah berniat untuk merapikan kamarku yang tidak terlalu beraturan akhir-akhir ini (mungkin hampir satu tahun ini sedikit berantakan tidak serapi biasanya kuakui), aku bergegas mengobrak-abrik isi kamarku dan merapikannya kembali setelah bahkan waktu Zuhur sudah berlalu. Sisa hari kuhabiskan menonton. Yah... Aku menonton Across the Universe, kemudian aku melanjutkan menonton Divergent, diikuti The Fault in Our Stars, dan kuakhiri tanggal 22 ini dengan From Up On Poppy Hill. Aku hanya ingin suatu saat nanti mengenang film-film yang secara acak terpilih untuk menemaniku selama satu hari kemarin. Tidak ada ide harus melakukan apa. Sekarang setelah koneksi internet cukup lancar, terdamparlah aku di sini.

Muncul pertanyaan sendiri, Apa yang kuinginkan?. Aku tak perlu lah menyebut segala doa dan harapanku di tulisan ini. Cukup aku dan Allah saja yang tahu. Tapi jika dipaksa harus menyebutkan satu, yang benar-benar menjadi prioritas hidupku yang sudah kujalani sejak hampir setahun ini adalah menyelasaikan tugas akhir sebagai mahasiswa. Kau tahu, banyak hal lucu dalam hidup ini. Kusebutkan satu contoh perbandingan. Ada orang yang dengan santai dan tak perdulinya mengerjakan atau tidak terlalu bersusah payah memikirkan tugas akhrinya tapi mereka dengan mudah dan cepatnya bisa lulus dari dunia kampus. Ada pula yang hampir satu tahun bersusah payah menjalaninya tanpa waktu untuk istirahat sejenak, tapi masih belum sampai waktunya untuk lulus. Itulah nasib. Itulah kehidupan. Kehidupanku, seperti contoh kedua. Dan permasalahan bukan hanya dariku. Jadi bagi mereka yang seenaknya menggangap enteng permasalahan ini, simpan saja kata-katamu jika kau bahkan tidak melihat kebenaran dengan jelas.

Well, whatever. Tidak banyak yang ingin kuceritakan di sini kali ini. Anyway...
Aku begitu menyukai November kali ini. Begitu juga November tahun lalu. Meskipun malam ini tidak diguyur hujan seperti 23 di tahun lalu. November kali ini dilimpahi rahmat hujan yang menyegarkan dan memberi keteduhan yang ditunggu-tunggu semua orang, setelah beberapa bulan sebelumnya dilanda kekeringan oleh musim kemarau yang cukup panjang.

Ya, pada akhirnya, kututup tulisan ini dengan Happy birthday to me! Yay! :)



Sumber gambar: Google.



Selasa, 18 November 2014

Aku Hanya Menerka(terka) Sabda

Disini lah aku, berteman rintihan hujan.
Malam-malam.
Dalam kamar temaram.
Sembari menunggu waktu.
Menanti kamu.
Menemukanku.
Kujalin saja rindu.
Untuk nanti dijahit dengan rindumu, ketika nanti bertemu.
Lalu pergi membawaku.
Bukan hanya hatiku.
Hey... Jangan jauh-jauh.
Ayah ibu nanti pasti rindu.

Ah...
Kulihat ayah ibu.
Sehari-hari tabah dan ikhlas menekur pada usaha menghidupi ragaku.
Menjagaku.
Berlimpah cinta kasih mereka untuk jiwaku.
Seketika aku tersadar.
Betapa mereka masih erat memelukku.
Belum rela jika secuil cinta yang kupunya ku bagi pula untukmu.
Maka kita sama tahu.
Mungkin memang belum sekarang saatnya kau mendatangiku.
Tapi entah seperti apa rencana-Mu.
Aku hanya menerka(terka) Sabda.

Lalu ingin kuintip rencana-Mu.
Tentulah aku tak mampu.
Kupilih sebuah senyum dari setumpuk hadiah pemberian-Mu.
Kubisikkan pada Tuhan.
"Kau lah yang Mahapengatur segala rentak irama kehidupan"
Ya...
Mungkin begitu.
Cukup begitu dulu.


F. F. K.

Pesona Hujan

Bermainlah bersama hujan,
Nikmati jatuhnya,
Rasakan rintihannya,
Cium dan rengkuh,
Dan kau akan merasakan ‘memiliki’ dan ‘kehilangan’,
dalam satu kedipan.
Begitulah pesona hujan.


F. F. K.

Senin, 17 November 2014

Siul Tiup Lilin

Aku selalu berkata kepada diri sendiri. Banyak hal baik dan membahagiakan yang terjadi di setiap harinya yang bisa kita syukuri. Beberapa hari menjelang yang kaum manusia sebut sebagai hari-ulang-tahun, yaitu hari ini, aku memulai hari seperti biasa. Kejadian pagi tadi sudah kuceritakan. Lepas Zuhur aku beranjak pulang. Tidak ada yang istimewa. Sama seperti hari-hari lainnya, hari-hari yang biasa dengan banyak hal luar biasa yang selalu membuatku merasa menjadi salah seorang yang harusnya bersyukur masih diberi kehidupan yang luar biasa.

Biasanya aku butuh dua trayek angkutan umum agar aku bisa sampai ke rumah. Di angkutan kedua aku duduk di bangku yang menghadap berlawanan dengan punggung sang sopir, di pinggir pintu masuk, setelah sebelumnya mampir ke sebuah supermarket untuk membeli sesuatu. Tak begitu jauh berjalan, naiklah seorang anak laki-laki berseragam sekolah menengah atas yang kemudian duduk di sampingku. Aku tak kenal dia, begitupun dia tak kenal aku. Mungkin dia satu tingkatan sekolah sama seperti adikku. Kemudian tak lama setelah mobil kembali berjalan, dia bersiul. Inilah yang membuatku tiba-tiba tersenyum seorang diri. Dia menyiulkan sebuah irama lagu ulang tahun, atau mungkin lebih tepatnya jika dinyanyikan, siulannya bernyanyi untuk liriknya yang seperti ini: "Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga..." Aku terkadang tak bisa menahannya untuk mengekspresikan apa yang tiba-tiba kurasakan. Jadi ketika dia bersiul lagu tersebut, aku tiba-tiba tersenyum dan ingin tertawa karena seketika aku teringat, "Haha, sebentar lagi hari ulang tahunku. Apakah ini termasuk salah satu hadiah kejutan dari semesta sebagai penghiburan untukku?"

Ya, aku tidak ingin mengistimewakan hari itu. Terkadang sesuatu yang kita anggap istimewa akan membawa kekecewaan yang lebih dari sesuatu yang kita anggap biasa, jika kita terlalu mengharapkannya. Jadi aku akan menganggapnya sebagai sebuah hari yang biasa saja seperti hari-hari biasa lainnya, namun membawa banyak hal yang luar biasa disetiap akhir harinya. Bukankah pada dasarnya memang ia hanyalah sebuah hari biasa lainnya? Karena setiap detik aku bernapas, setiap detik pula hidupku berubah. Tak perlu menunggu hitungan hingga hari itu, kan? :)

Minggu, 09 November 2014

Seharusnya Cinta Baik-Baik Saja

Aku lebih suka kisah cinta yang mana para lakonnya tidak pernah sekalipun mengucapkan kata cinta namun sesungguhnya kita semua bisa tahu dengan melihat ke kedalaman mata para lakon bahwa terdapat gelegak-gelegak perasaan hangat, cinta, dan kasih sayang yang tak bisa ditutupi oleh kabut dan kegelapan sekalipun. Tak terucapkan sekalipun namun mereka saling tahu dan tentu semua tahu ada suatu harapan dan keindahan perasaan diantara kedua cucu adam dan hawa tersebut. Bukankah itu indah? Hah, aku bahkan sampai hampir menitikkan air mata membayangkannya. Menurutku, hal seperti itu lebih indah ketimbang mereka yang saling melempar dan mengumbar kata cinta dan sayangnya hanya untuk dilihat orang bahwa mereka 'merasa' sudah siap untuk saling memiliki, padahal kenyataannya mereka sedang asyik memantapkan diri sendiri apakah benar seyakin itu menyukai dan menyayangi 'pasangan'nya.

Seperti kata seorang penulis, Tere Liye, yang mengatakan 'apakah mungkin sesuka itu?'. Jujur saja, aku mengiyakan dalam hati perkataan itu karena begitulah yang pernah kualami, dan kuharap tidak lagi terjadi. Jika terjadi lagi pendar perasaan itu, aku harap bisa menyimpannya hanya dalam hati agar disuatu saat nanti aku tidak menyesalinya jika hal tersebut ternyata hanya keinginan sesaat dan ego ingin mampu memiliki sejenak saja. Ada satu hal yang kuyakin akan kuketahui pasti mana cinta sungguhan, yang mana hanya keinginanku semata. Aku yakin aku akan berdebar karenanya. Mungkin ini klise bagi banyak orang, tapi aku masih percaya dengan datangnya debar itu suatu saat nanti.

Sehubungan dengan cinta yang malu-malu dan tak perlu diumbar-umbar, kemarin ada sebuah mini drama dari sebuah film kesukaanku sejak dulu, Ada Apa Dengan Cinta yang dipersembahkan oleh sebuah aplikasi kenamaan smartphone. Aku tak mungkin bohong bahwa aku sungguh terpesona dengan adanya mini drama itu. Terang saja, aktor dan aktrisnya adalah pemeran yang sama 12 tahun lalu di film kenamaan yang katanya mengubah nasib perfilman Indonesia kala itu. Dan tentu saja karena aku adalah satu dari sekian banyak perempuan yang menjadi penggemar tokoh Rangga, dan Nicholas Saputra (jangan lupa aku menjerit histeris sendirian sewaktu menontonnya kemarin). Tapi ada sisi lain dari perasaanku yang mengatakan bahwa itu menjadi tak lebih dari sekedar sebuah iklan bersponsor. Mengapa? Karena itu sungguh berbeda dari hayalan tingkat tinggiku selama ini. Telah terpatri di benakku bahwa kedua tokoh di film itu, yang jatuh cinta tanpa mengumbar-umbar dan dengan perasaan yang ragu dan malu-malu tanpa alat komunikasi yang canggih pada era itu, yang masih menggunakan sebuah telepon rumah untuk berkomunikasi dalam kondisi yang benar-benar dirasa perlu untuk digunakan (dan aku sangat mencintai kisah cinta yang tergambar dalam coretan di atas sebuah kertas-surat dan puisi cinta), mereka telah berbahagia setelah melewati satu purnama untuk bertemu kembali dan memulai semuanya. Akhir yang bahagia sudah digambarkan di dalam sebuah puisi yang diberikan Rangga kepada Cinta di akhir cerita. Tapi... dalam mini drama yang kutonton kemarin, digambarkan bahwa Rangga dan Cinta belum pernah bertemu lagi sekalipun dalam 12 tahun sejak Rangga pindah ke New York.

Maaf saja, aku adalah penggemar happily ever after ending stories. Aku sudah mengatakannya kemarin di sebuah media sosialku bahwa ide cerita yang disuguhkan dalam bentuk mini drama oleh perusahaan alplikasi kenamaan itu menghancurkan hayalan indahku tentang 'satu purnama' yang bahagia selama ini. Yah, itu menurut pendapatku. Sama halnya seperti novel The Giver yang baru selesai kubaca kemarin. Seorang teman bertanya, 'Jika ceritanya memang bagus, kenapa tidak dibuat saja sekuel atau triloginya?'. Ku katakan padanya, hal yang menakjubkan tidak akan terjadi dua kali. Perasaan membuncah bahagia terhisap ke dalam sebuah cerita tidak bisa direkayasa hanya karena tiba-tiba semua orang menyukai ceritanya. Cukup dengan satu novel itu dan dengan akhir yang masing-masing orang bisa menginterpretasikannya sendiri itulah yang membuatmu menikmatinya hingga titik.

Kau tak Akan Pernah Sadar

Maaf, aku tersadar.
Untungnya kamu belum tersadar.
Aku tersadar, kusebut saja kau dan aku-karena aku tak pantas menyebut kita-ternyata sungguh berbeda.
Untunglah kau tak pernah tahu aku pernah meragu karenamu.
Untunglah bibit perasaan itu baru hendak muncul.
Untunglah aku tidak sempat menggunakan perasaan hingga aku tak terlalu lemah terjatuh.
Namun apalah dia jika bukan secuil perasaan?
Aku kembali bersembunyi dalam ruang tunggu itu, dan merindu hingga semua yang kutunggu mewujud ‘kamu’.
Aku yakin janji ‘itu’.
Jika janji itu bukan kamu, semoga kau tak pernah tersadar akan aku.

--Kurangkum menjadi tulisan biasa dan singkat ini dari beberapa kisah dan perasaan orang-orang disekitarku beberapa hari ini. :)

Sabtu, 01 November 2014

Pesan untuk Tuan yang Entah di Mana

Hai kau tuan masa depanku
yang dari galaksi entah apa
yang masih juga tak kunjung tiba
yang masih juga entah dimana
Dimana kamu sekarang?

Aku punya pesan untukmu
Tidak banyak
Tak juga panjang lebar
Singkat saja
Izinkan aku meminta sedikit jawaban
Kuharap itu menenangkan
Izinkan aku meminta sedikit pengertian
Kuharap itu melegakan

Jika kau sudah tiba nanti
Beri aku sebuah tanda
Jangan hanya memanggil di depan pintu
Apalagi berbisik dari kejauhan
Ketuklah pintunya
Pintu putih yang dikotori banyak warna

Ketuklah lebih keras jika masih juga belum membuka
Mungkin aku belum mendengar jelas
Aku hanya takut kau terlalu bosan untuk menunggu,
meski sejenak sewaktu
Lalu kau putuskan untuk pergi
Mencari pintu lain yang aku entah tak tahu
Tersisa aku menanti waktu berlalu
Tergugu meragu sendiri satu
Tolong tenangkan aku.



Indralaya, Kamis, 30 Oktober 2014.