Jumat, 30 Januari 2015

Aku Bukan Fatimah, Apalagi Menjadi Khadijah

Karena aku (dan akhlakku) tidak bisa menjadi seperti Khadijah sehingga mampu dan yakin meminang seorang Muhammad (SAW), maka aku memilih menunggu saja seperti Fatimah yang dipinang Ali. Meskipun mendekati sepertinya saja aku bagai seekor kupu-kupu yang berharap terbang melintas awan setinggi elang.

Bahkan Rasulullah SAW sendiri sudah ditunjukkan bersama Jibril bahwa yang banyak menempati neraka adalah kaum perempuan. Aku sendiri hina, tidak seperti perempuan tersuci Maryam, bukan seorang Asiyah, bukan pula Fatimah, apalagi menjadi seorang Khadijah. Aku tak seperti keempat perempuan pilihan penghuni surga itu. Sungguh jauh. Karenanyalah tentu kami selalu berharap bertemu engkau yang lebih baik akhlaknya diantara yang terbaik, yang bisa menuntun kami menjadi perempuan yang layak bahkan dari mencium baunya surga hingga ikut layak tinggal di dalamnya. Bukan yang hanya jalan ditempat berputar dan ikut berkubang dengan kesenangan sesaat dunia.

F. F. K.

Selasa, 13 Januari 2015

Dalam Hujan Aksara

Tidak ada yang tidak pernah menangis.
Semua kita menangis saat tersadar menghirup udara dunia yang pekat.
Tersadar harus berjuang hingga mengucap selamat kepada kematian.
Lalu, bagaimana dengan perempuan itu?
Dia juga sama.
Tidak ada perempuan yang tidak pernah menangis.
Sebagai seorang perempuan, sebagai seorang anak pertama, sebagai seorang kakak pula, dan sebagai individu yang menanggung masing-masing beban, ketahuilah.
Tak mungkin ia tidak pernah menangis.
Mungkin dia memang terlihat tegar.
Mungkin dia terlihat kuat.
Terlebih kadang sikap apa adanya mengganggu dan nampak kasar.
Mungkin dia terlihat tabah.
Tapi, memang begitulah manusia.
Menyembunyikan hal-hal yang terkadang semua orang sudah mengetahuinya.
Mungkin dia memang tidak menangis dengan air mata.
Tapi sejujurnya, jika kau memang mengenal dan mengerti pribadinya, ketahuilah.
Dia sudah sangat sering menangis.
Bersembunyi dalam lebat hutan harapan.
Meski hanya dalam kata-kata. Dalam hujan aksara.

F. F. K.

Bye for Now (Maybe)

Hujan adalah salah satu sahabat terbaik para pujangga. Hujan juga merupakan teman terbaikku. Banyak kata-kata, juga kelebat hayalan ngawur yang terlintas kala milyaran titik air itu jatuh bebas ke bumi.

Hah... Itu tulisan waktu hujan tadi. Tapi karena saya hidup hanya mengandalkan wifi, jadilah tiga kalimat tersebut dipendam dulu, terhenti tiba-tiba. Fyuh, jadi lupa mau menulis apa di sini siang tadi. Padahal, momen hujan adalah momen terbaik bagi banyak orang yang suka menumpahruahkan pikiran-pikiran dan kata-kata (sok) puitis yang ada di dalam kepala mereka. Begitu juga aku, biasanya. Tapi siang tadi, ketika listrik seperti biasa dipadamkan di daerah kami jika hujan sudah membawa Pangeran Angin dan Raja Petir, maka kujadikan saja ia momen terbaik yang sudah cukup lama tidak kulakukan ketika ia hadir ataupun tidak. Tidur siang. Mendekapku erat dalam kesejukannya. Melupakan sejenak data skripsi yang sudah muak kulihat siang dan malam. Mengenyahkan sejenak pertanyaan ayah ibu--selalu saja mengurusi sidang teman-teman, kamu sendiri kapan?--yang cukup membingungkan. Yah, sekian saja. Mungkin kapan-kapan aku akan menepati janjiku pada diri sendiri, untuk membuat sebuah postingan yang mungkin berguna jika ada satu-dua pengelana aksara yang lewat dan mampir.

ARRIVEDERCI! AU REVOIR!
Maybe.

Sabtu, 10 Januari 2015

Sedikit Lebih Lagi

Jika dikatakan bisa menangis, tentu bisa kulakukan. Jika dikatakan ingin menangis, aku sudah sangat ingin. Tapi aku sudah terbiasa berkata tidak harus menangis pada diri sendiri meskipun aku sudah sangat ingin. Hingga pada titik ini aku malah sibuk mengutak-atik aksara di sini alih-alih menangis. Kadang aku lupa betapa leganya perasaan setelah menangis. Sejujurnya menangis itu menyehatkan, jika sesuai kondisi dan kebutuhannya. Saat menangis, manusia mengeluarkan zat-zat kimia yang tidak baik bagi tubuh sehingga timbul perasaan lega setelah berurai air mata. Aku kadang cukup malu untuk melakukan itu meskipun sendirian. Terlebih aku pernah berjanji untuk tidak lagi asal menangis atas hal-hal yang tidak perlu ditangisi. Imbasnya, aku menitikkan sangat sedikit air mata, atau bahkan ia hanya menggenang saja di pelupuk ketika ada hal-hal khusus yang bisa membuatku terharu. Imbasnya, ada banyak rasa tertumpuk dalam hati.

Mereka bilang perbedaan orang yang gagal dan orang yang berhasil hanyalah terletak pada niat dan sedikit usaha lebih. Orang yang berhasil adalah mereka, orang-orang yang hampir gagal tapi tetap terus bertahan dan sabar melangkah hingga tanpa disadari mereka sampai ke titik akhir satu perjalanan mereka. Aku? Aku adalah orang yang hampir gagal dan patah semangat, tapi masih terus berusaha untuk mengikuti jejak-jejak mereka yang sudah berhasil ke titik akhir sebuah perjalanan yang sama dan berulang-ulang ini. Dan aku masih tetap belum mau dan belum saatnya untuk menangis. Ada lebih banyak yang seharusnya lebih menangis daripada aku tapi mereka tetap bertahan.

Aku hanya harus sedikit lebih bersabar lagi. Sedikit lebih tekun lagi. Sedikit lebih berusaha lagi. Sedikit lebih semangat lagi. Sedikit lebih bertahan lagi. Sedikit lebih menguatkan dan menghibur diri sendiri lagi. Ya, sekarang cukup dengan rumus andalanku sendiri, sedikit lebih lagi. Lalu di akhirnya, aku akan sangat berterima kasih kepada Allah SWT. yang tetap setia menyelamatkan aku dari keputusasaan. Dan aku akan sangat berterima kasih kepada diriku sendiri, untuk mau tetap percaya, berharap, bertahan dan berusaha sedikit lebih lama lagi melihat titik keberhasilan dalam hidupku yang rasanya jauh di ujung jalan.

Dan semoga aku tetap bertahan untuk tidak menangisi hal yang seharusnya tidak terlalu sulit ini hingga tiba di akhirnya karena akan ada lebih banyak hal yang patut ditangisi dikemudian hari. Semoga.

Minggu, 04 Januari 2015

Untukmu, Ibu Dunia Akhiratku

Lima puluh tahun yang lalu, seorang bayi suci dilahirkan dari rahim seorang ibu.

Empat puluh delapan tahun yang lalu, kau belajar menjadi seorang kakak pertama.

Dua puluh enam tahun lalu, kau membanggakan kedua orang tuamu dengan menghadiahkan mereka gelar Insinyur mu sebagai seorang sarjana pertanian.

Dua puluh tiga tahun yang lalu, kau mulai kehidupan barumu sebagai seorang istri dan bersamanya berusaha membangun sebuah keluarga yang bahagia dan selalu di ridhoi-Nya.

Dua puluh dua tahun yang lalu, Ia melengkapi hidupmu, kewajiban dan tanggung jawabmu dengan menganugerahkan seorang bayi perempuan yang sangat kecil itu. Lalu kau berikan ia nama sebagai salah satu doa terindah yang kudengar, 'Seorang perempuan yang semoga mulia dan memuliakan keluarga bagai sebuah permata yang indah untuk Ibu dan Ayah'.

Enam belas tahun yang lalu, kau kembali dikaruniakan seorang putra yang tampan, setelah hampir meregang nyawa dan tetap berdiri tegar menahan kesakitan demi menjaga putra berusia satu minggu mu yang harus dimasukkan begitu banyak selang infus di ubun-ubunnya. Lalu kau berikan ia nama sebagai salah satu dari doa terindah lainnya yang kudengar, 'Sebuah permulaan untuk dan akan selalu diberkahi rezeki yang mulia dan semoga menjadi imam yang mengikuti tauladan Rasulullah Muhammad SAW'.

Setelah lima puluh tahun berlalu, begitu banyak cerita dan perjalanan, tipu daya zaman, pahit dan manis kehidupan yang telah kau lewati.

Lima puluh tahun telah berlalu, usiamu tak lagi muda, tenagamu tak lagi kuat, kulitmu mulai menua, meskipun kami tau betul otakmu sungguh masih sangat luar biasa pintarnya. Terkadang sedikit rambut putih itu ingin menguasaimu namun tak kuasa.

Lima puluh tahun usiamu kini, Ibu.
Maafkan aku yang belum bisa membanggakan mu dan ayah.
Maafkan aku yang masih belum bisa memberimu hadiah sebuah gelar sarjana itu di lima puluh tahunmu ini.
Maafkan aku yang masih belum bisa menjadi seorang anak yang cukup baik selama ini.
Maafkan aku yang masih sangat kekanakan di usia yang bukan anak-anak lagi kini.
Maafkan aku yang terlalu banyak salah kepadamu.
Maafkan kami yang masih sangat menyusahkanmu.
Maafkan kami yang takkan bisa membalas cinta dan pengorbanan suci dunia akhiratmu.
Selamat hari kelahiran, Ibu.
Selamat hari ibu terkhusus untukmu, Ibu.
Semoga Allah SWT selalu melimpahkan kasih dan sayang, ridho dan perlindungan dunia akhirat atas kehidupanmu, Ibu.

Mungkin dengan tulisan, aku bisa lebih jujur dan lugas menyatakan.

Kami yang mencintaimu, Ibu ...