Aku lebih suka kisah cinta yang mana para lakonnya tidak pernah sekalipun mengucapkan kata cinta namun sesungguhnya kita semua bisa tahu dengan melihat ke kedalaman mata para lakon bahwa terdapat gelegak-gelegak perasaan hangat, cinta, dan kasih sayang yang tak bisa ditutupi oleh kabut dan kegelapan sekalipun. Tak terucapkan sekalipun namun mereka saling tahu dan tentu semua tahu ada suatu harapan dan keindahan perasaan diantara kedua cucu adam dan hawa tersebut. Bukankah itu indah? Hah, aku bahkan sampai hampir menitikkan air mata membayangkannya. Menurutku, hal seperti itu lebih indah ketimbang mereka yang saling melempar dan mengumbar kata cinta dan sayangnya hanya untuk dilihat orang bahwa mereka 'merasa' sudah siap untuk saling memiliki, padahal kenyataannya mereka sedang asyik memantapkan diri sendiri apakah benar seyakin itu menyukai dan menyayangi 'pasangan'nya.
Seperti kata seorang penulis, Tere Liye, yang mengatakan 'apakah mungkin sesuka itu?'. Jujur saja, aku mengiyakan dalam hati perkataan itu karena begitulah yang pernah kualami, dan kuharap tidak lagi terjadi. Jika terjadi lagi pendar perasaan itu, aku harap bisa menyimpannya hanya dalam hati agar disuatu saat nanti aku tidak menyesalinya jika hal tersebut ternyata hanya keinginan sesaat dan ego ingin mampu memiliki sejenak saja. Ada satu hal yang kuyakin akan kuketahui pasti mana cinta sungguhan, yang mana hanya keinginanku semata. Aku yakin aku akan berdebar karenanya. Mungkin ini klise bagi banyak orang, tapi aku masih percaya dengan datangnya debar itu suatu saat nanti.
Sehubungan dengan cinta yang malu-malu dan tak perlu diumbar-umbar, kemarin ada sebuah mini drama dari sebuah film kesukaanku sejak dulu, Ada Apa Dengan Cinta yang dipersembahkan oleh sebuah aplikasi kenamaan smartphone. Aku tak mungkin bohong bahwa aku sungguh terpesona dengan adanya mini drama itu. Terang saja, aktor dan aktrisnya adalah pemeran yang sama 12 tahun lalu di film kenamaan yang katanya mengubah nasib perfilman Indonesia kala itu. Dan tentu saja karena aku adalah satu dari sekian banyak perempuan yang menjadi penggemar tokoh Rangga, dan Nicholas Saputra (jangan lupa aku menjerit histeris sendirian sewaktu menontonnya kemarin). Tapi ada sisi lain dari perasaanku yang mengatakan bahwa itu menjadi tak lebih dari sekedar sebuah iklan bersponsor. Mengapa? Karena itu sungguh berbeda dari hayalan tingkat tinggiku selama ini. Telah terpatri di benakku bahwa kedua tokoh di film itu, yang jatuh cinta tanpa mengumbar-umbar dan dengan perasaan yang ragu dan malu-malu tanpa alat komunikasi yang canggih pada era itu, yang masih menggunakan sebuah telepon rumah untuk berkomunikasi dalam kondisi yang benar-benar dirasa perlu untuk digunakan (dan aku sangat mencintai kisah cinta yang tergambar dalam coretan di atas sebuah kertas-surat dan puisi cinta), mereka telah berbahagia setelah melewati satu purnama untuk bertemu kembali dan memulai semuanya. Akhir yang bahagia sudah digambarkan di dalam sebuah puisi yang diberikan Rangga kepada Cinta di akhir cerita. Tapi... dalam mini drama yang kutonton kemarin, digambarkan bahwa Rangga dan Cinta belum pernah bertemu lagi sekalipun dalam 12 tahun sejak Rangga pindah ke New York.
Maaf saja, aku adalah penggemar happily ever after ending stories. Aku sudah mengatakannya kemarin di sebuah media sosialku bahwa ide cerita yang disuguhkan dalam bentuk mini drama oleh perusahaan alplikasi kenamaan itu menghancurkan hayalan indahku tentang 'satu purnama' yang bahagia selama ini. Yah, itu menurut pendapatku. Sama halnya seperti novel The Giver yang baru selesai kubaca kemarin. Seorang teman bertanya, 'Jika ceritanya memang bagus, kenapa tidak dibuat saja sekuel atau triloginya?'. Ku katakan padanya, hal yang menakjubkan tidak akan terjadi dua kali. Perasaan membuncah bahagia terhisap ke dalam sebuah cerita tidak bisa direkayasa hanya karena tiba-tiba semua orang menyukai ceritanya. Cukup dengan satu novel itu dan dengan akhir yang masing-masing orang bisa menginterpretasikannya sendiri itulah yang membuatmu menikmatinya hingga titik.
Seperti kata seorang penulis, Tere Liye, yang mengatakan 'apakah mungkin sesuka itu?'. Jujur saja, aku mengiyakan dalam hati perkataan itu karena begitulah yang pernah kualami, dan kuharap tidak lagi terjadi. Jika terjadi lagi pendar perasaan itu, aku harap bisa menyimpannya hanya dalam hati agar disuatu saat nanti aku tidak menyesalinya jika hal tersebut ternyata hanya keinginan sesaat dan ego ingin mampu memiliki sejenak saja. Ada satu hal yang kuyakin akan kuketahui pasti mana cinta sungguhan, yang mana hanya keinginanku semata. Aku yakin aku akan berdebar karenanya. Mungkin ini klise bagi banyak orang, tapi aku masih percaya dengan datangnya debar itu suatu saat nanti.
Sehubungan dengan cinta yang malu-malu dan tak perlu diumbar-umbar, kemarin ada sebuah mini drama dari sebuah film kesukaanku sejak dulu, Ada Apa Dengan Cinta yang dipersembahkan oleh sebuah aplikasi kenamaan smartphone. Aku tak mungkin bohong bahwa aku sungguh terpesona dengan adanya mini drama itu. Terang saja, aktor dan aktrisnya adalah pemeran yang sama 12 tahun lalu di film kenamaan yang katanya mengubah nasib perfilman Indonesia kala itu. Dan tentu saja karena aku adalah satu dari sekian banyak perempuan yang menjadi penggemar tokoh Rangga, dan Nicholas Saputra (jangan lupa aku menjerit histeris sendirian sewaktu menontonnya kemarin). Tapi ada sisi lain dari perasaanku yang mengatakan bahwa itu menjadi tak lebih dari sekedar sebuah iklan bersponsor. Mengapa? Karena itu sungguh berbeda dari hayalan tingkat tinggiku selama ini. Telah terpatri di benakku bahwa kedua tokoh di film itu, yang jatuh cinta tanpa mengumbar-umbar dan dengan perasaan yang ragu dan malu-malu tanpa alat komunikasi yang canggih pada era itu, yang masih menggunakan sebuah telepon rumah untuk berkomunikasi dalam kondisi yang benar-benar dirasa perlu untuk digunakan (dan aku sangat mencintai kisah cinta yang tergambar dalam coretan di atas sebuah kertas-surat dan puisi cinta), mereka telah berbahagia setelah melewati satu purnama untuk bertemu kembali dan memulai semuanya. Akhir yang bahagia sudah digambarkan di dalam sebuah puisi yang diberikan Rangga kepada Cinta di akhir cerita. Tapi... dalam mini drama yang kutonton kemarin, digambarkan bahwa Rangga dan Cinta belum pernah bertemu lagi sekalipun dalam 12 tahun sejak Rangga pindah ke New York.
Maaf saja, aku adalah penggemar happily ever after ending stories. Aku sudah mengatakannya kemarin di sebuah media sosialku bahwa ide cerita yang disuguhkan dalam bentuk mini drama oleh perusahaan alplikasi kenamaan itu menghancurkan hayalan indahku tentang 'satu purnama' yang bahagia selama ini. Yah, itu menurut pendapatku. Sama halnya seperti novel The Giver yang baru selesai kubaca kemarin. Seorang teman bertanya, 'Jika ceritanya memang bagus, kenapa tidak dibuat saja sekuel atau triloginya?'. Ku katakan padanya, hal yang menakjubkan tidak akan terjadi dua kali. Perasaan membuncah bahagia terhisap ke dalam sebuah cerita tidak bisa direkayasa hanya karena tiba-tiba semua orang menyukai ceritanya. Cukup dengan satu novel itu dan dengan akhir yang masing-masing orang bisa menginterpretasikannya sendiri itulah yang membuatmu menikmatinya hingga titik.
Yang menjadikannya spesial, semua itu terjadi sekali. Tak ada yang kedua.
BalasHapusBener kak. Karena dia satu dan sekali. Karena keajaiban tidak datang pada sesuatu yang sama dua kali. Esensi spesialnya pasti hilang untuk 'yang selanjutnya'.Lagian, menurut aku, kalo sudah jelas akhirnya, kenapa mesti sok diperpanjang dan mengacaukan yang awal?
Hapus