Rabu, 27 Mei 2015

Rancangan Pesta Kecil Pernikahanku

Pernikahan.
Kata itu tidak lagi tabu seiring bertambahnya umur, dan semakin hari semakin menggaung dan menggema di dalam kepalaku. Bukan apa-apa, hanya saja seperti kata orang bilang, "bukan hal yang aneh lagi kalau kau sudah memikirkan tentang pernikahan di umur sekarang."

Tapi tentu perkara yang satu ini tidak bisa asal terlaksana, kan? Islam sendiri mengajarkan bahwa yang terutama dari sebuah pernikahan adalah Akad nikahnya, ijab dan qabulnya. Untuk bisa sampai pada terlaksananya akad nikah dan ijab qabul tadi tentu hati sudah benar-benar dimantapkan dan dipersiapkan untuk memenuhi sunnah Rasul satu ini. Diajarkan pula untuk mengumumkan pernikahan ini kepada sanak saudara, tetangga dan kerabat agar tidak timbul fitnah dan kesalahpahaman dikemudian hari ketika dua insan tersebut berada di bawah satu atap. Mengumumkan pernikahan ini adalah dengan mengadakan pesta atau resepsi.

Jika ditanya konsep pernikahan apa yang aku inginkan, tentunya akan kujawab konsep pernikahan yang Islami, dengan pakaian yang syar'i dan tidak berlebih-lebihan. Aku sering membayangkan, pada akad-ku nanti, aku ingin mengenakan kebaya putih dengan detail-detail yang aku suka. Aku ingin kebaya putihku menjadi kebaya tercantik yang aku punya. Dengan hijab putih gading yang menutup hingga bawah dada, yang kemudian disematkan pula kerudung putih panjang yang aku bayangkan aku akan terlihat cantik seperti putri-putri dengan tambahan juntaian kerudung itu.
Aku ingin kesederhanaan dalam paduan warna putih nan suci itu saat akad nikahku nanti.

Lalu jika ditanya akan bagaimanakah pula konsep resepsi pernikahan yang aku inginkan?
Ada begitu banyak konsep pernikahan berkeliaran dalam bayang dan hayalku, yang ingin kutiru dan ingin kuwujudkan.

Pertama-tama, kuputuskan untuk mengundang orang-orang, kerabat, sahabat, teman-teman dan kolega yang memang benar-benar bersentuhan langsung dan konsisten dalam kehidupan selama ini. Tidak perlu banyak orang tapi tak ku kenal, tidak perlu pula mengundang orang-orang penting dan besar yang mungkin tak terlalu ku kenal hanya untuk membuat pesta pernikahanku menjadi terlihat prestisius.

Konsep yang kuinginkan adalah pesta outdoor, dengan payung-payung besar terpasang dimeja untuk melindungi tamu-tamuku dari terik matahari. Aku ingin suasana kebersamaan diruang terbuka di taman, di bawah bayang-bayang pepohonan tinggi sehingga tempatnya cukup rindang. Ditambah suara siul burung-burung kecil yang menambah suasana damai saat acara makan berlangsung. Aku ingin meja-meja atau kursi tamuku yang kuharap bertema kayu-kayuan berhiaskan untaian bunga-bunga kecil nan cantik sebagai pemanis pemandangan.

Konsep kedua sebagai antisipasi bilamana hujan kemungkinan turun dihari pesta pernikahanku nanti, aku merencanakan konsep pernikahan di dalam gedung dengan tetap bertemakan alam, pepohonan, dedaunan dan bunga-bungaan. Aku ingin ada pohon buatan yang berbunga penuh di dalam ruang tempat resepsi dan di dekat meja-meja makan tamuku. Aku ingin cahaya lilin yang menggantung memenuhi ruangan. Aku ingin semua tertata dan terencana dengan cantik dan romantis.

Yah, pada intinya aku ingin konsep pernikahan yang cantik, anggun dan romantis seperti dalam cerita-cerita novel yang banyak kubaca, atau film-film yang kutonton.




Sabtu, 02 Mei 2015

Selepas Maghrib

Sejak dulu aku suka berlari.
Berlari yang jauh, atau berlari cepat.
Sampai sekarang pun juga.
Bahkan di dalam rumah,
aku sering berlari.
Berlari dari kamarku menuju pintu depan.
Berlari, ketika terdengar gesekan besi pagar rumah yang terdorong membuka.
Berlari, untuk membukakan pintu rumah bagi kedua lelaki itu.
Ayah dan adikku,
selepas maghrib,
yang kembali dari shalat berjamaah di masjid.

Kuharap aku masih akan diberi nikmat itu,
nikmat untuk bisa berlari di masa nanti, untukmu
lelaki dunia-akhiratku.
Berlari setelah menunggumu pulang,
berlari dari entah bagian mana rumah kita,
dengan air wudhu yang mungkin sudah setengah mengering di wajah,
atau mungkin baru hendak membasuhnya ketika terdengar salam darimu,
selepas maghrib itu.

F. F. K.

Minggu, 26 April 2015

Bahagia itu Milik'mu'

Aku tak tahu siapa yang lebih sering menertawakan siapa.
Dunia yang menertawakanku,
ataukah aku yang menertawakan dunia?

Karena terkadang aku merasa aku lah yang lebih sering menertawakan dunia,
bahkan ketika aku mengetahui sesuatu hal yang sangat kecil,
yang simpel,
yang sepertinya tidak akan berarti apa-apa pada orang lain.
Tapi pada kenyataanya, aku tertawa.

Ya! Aku menertawakannya.
Aku menertawakan hal kecil yang ditunjukkan dunia kepadaku.
Dan aku menyukainya.
Menyukai perasaan bahagia itu.
Bahagia yang hanya untukku.
Bahagia hingga rasanya ingin menangis.
Meski tidak penting bagi orang lain.

F. F. K.

Jumat, 20 Maret 2015

Kasihan Matahari...

Aku tidak ingat apakah aku pernah menuliskan banyak hal tentang bulan.
Ataukah tentang bintang-bintang malam.
Atau tentang langit biru cerah, dan awan putih yang menyelimuti.
Atau tentang hujan dan gemuruh yang menemaninya.
Aku belum menuliskan banyak hal, tentunya.
Tapi aku ingat. Aku pernah menuliskan tentang matahari.
Tulisan singkat yang terlupakan.

Kita sering mengeluh kepanasan.
Mencari-cari kesalahan matahari.
Sering kita marah karena keringat yang bercucuran.
Lalu kembali menyalahkan matahari.
Kita kesal karena teriknya pancaran sinar matahari pada suatu hari.
Lagi-lagi memaki matahari.

Kasihan matahari.
Apa yang salah dengannya?
Kenapa orang-orang memaki dirinya, membenci panasnya.
Lihatlah.
Terkadang dia hanya singgah sebentar.
Mengajak langit dan awan bermain-main menghabiskan waktu.
Lalu awan meninggalkannya.
Hanya bermain sendirian di kemahaan langit yang biru luas.
Langit tak mampu menahan teriknya.
Lalu orang-orang mulai menyalahkan matahari karena teriknya yang amat.

Atau terkadang sebaliknya.
Awan, dan orang-orang menyuruh matahari untuk pergi.
Awan seketika datang berarak mengusir matahari.
Dan beberapa orang mulai menggumam agar matahari segera menurut saja pergi.

Lalu matahari menjadi sedih.
Ia pergi.
Meninggalkan orang-orang yang bergembira bersama turunnya rintik-rintik hujan dari langit.

Hei, lalu titik-titik hujan itu miliknya siapa?
Bukankah matahari yang bersedih kepada langit, awan dan orang-orang?

F. F. K.

Selasa, 03 Maret 2015

A Friend is Still A Friend 'till The End

Bismillahirrahmannirrahim

Teman. Terkadang kita menggolongkannya berdasarkan waktu kita mengenal mereka. Kita menyebutnya sebagai teman TK, teman SD, SMP, SMA, dan--yah yang masih aku jalani sampai sekarang meskipun hanya tertinggal dua lagi temanku yang belum lulus, atau malah satu, karena sebentar lagi si Apri bakal sidang bulan ini--, teman kuliah. :)

Salah seorang temanku yang sudah lulus kuliah lebih dulu dan termasuk dua yang paling pertama di antara kami, yang sama-sama pergi-pulang kuliah Palembang-Indralaya, si Kiki, menuliskan sebuah postingan di beranda Line miliknya yang entah kali ini dia kesambet arwah penulis siapa, karena ini adalah salah satu postingan terpanjang darinya yang pernah kutahu. Aku akan menulis ulang tulisannya tersebut di sini, mungkin hanya sedikit editan saja tapi aku tidak akan mengubah gaya penulisannya karena itulah ciri khas dirinya yang bahkan ketika kita belum pernah bertemu langsung dengannya pun kita akan tahu 'begitulah' dia. Tapi mungkin saat bertemu kalian akan berpikir, "Bagaimana bisa orang dengan suara tipe ini pernah jadi penyiar radio di sekolahnya dulu?" (Langsung dihajar Kikoy). But she's the kocak one. Daya pikatnya ada di caranya berkomunikasi langsung dan blak-blakan dengan orang lain.

Mungkin orang Palembang saja yang akan mudah mengerti tulisan berikut ini. :D
Dan, beginilah postingannya...

"Rindu. Beneran rindu samo Rahma, Jola, Vera, Ayu, Apri, Lusi, Ariska, Tami, Siti (include Ledy & Dwi yang baleknyo ke ulu sedangke kami ke ilir). Balek kuliah sore, biarpun menges tapi selalu ado bae selo buat pacak ketawo ladas di terminal.

Rahma: Si mentel hobi masak yang dak biso seharipun idak bejajan. Nyingok bakso bakar, nak beli. Nyingok somay, nak beli. Nyingok gorengan, nak beli. Pernah bae sekali beli somay lupo ngambek sosoknyo.

Jola: Tino ini hobi fotograp biarpun caknyo dak tereksplor. Banyak tau perkembangan film. Dari sebanyak-banyak kawan aku, dio inilah yang nandak bedandan. Mantan (Kalimat yang tepat di sini saya sensor saja, haha). Biar agak selengekan, Jola ini kawan aku yang paling keren. (Ok, I have no idea).

Vera: Dari awal masok kuliah sampe dio pake toga, gaya rambutnyo dak ngubah. Mak itu mak tu lah. Pendek sebahu, poni dora. Kalem, manis. Pernah ado cerito naksir samo budak *pip* (sebuah prodi yang disensor namanya) di awal semester 1, dan baru tau kalo peciannyo tadi jugo naksir Vera di akhir vera nak lulus. Naas.

Ayu: Kawan aku yang paling kreatif. Hobi bikin craft. Ini cewek yg telaten, teliti, rapi, sederhana & pinter. Punyo pacar kawan sekelas aku tula (Ehm, mamas Tuwuh nya kami). Dio ini samo Jola la pecak pasar palimo, Ayu pasarnyo, Jola palimo nyo (abaikan perumpamaan ini). (Well, it seems like she's our leader).

Apri: Yang ini paling manis diantara kami. Kalem, dak pulo banyak bunyi (cak aku) --di bagian Kiki ngomong ini, aku mingkem. Pinter, teliti, punyo adek belagak tapi sayang mase kecik. Dio ini paling diandalke soal rebutan bangku bus, 'Prik, tempati sepoloh ikok prik!!!' (dan yuk Apri pasti bisa mendapatkannya sodara-sodara eventhough she seems like the elegant one! Hahaha).

Lusi: Ini dio kawan seperjuangan skripsi aku, kawan wisuda. Uwong Padang asli idak pake ragu. Nian aku dak bohong. Punyo pacar kawan sekelas aku tula jugo (Kuplek, he's the kindest guy and boy friend I've ever had. And he become my bro, too, like mas Tuwuh). Aku menghabiskan napas terakhir aku di kampus dengen dio inilah *Lebay? Biarlah*

Ariska: Yang ini... Ya Allah. Maapkenla. Dio ini yang paling sering aku samo Rahma bully (tapi ini bukan bully seperti di berita dan film-film itu ya). Tapi dio diem bae tiap di bully, yang ado malah ketawo, terimo nasep. Punyo kakak pecian si Rahma tadi (Cuma seru-seruan kami sebenernya). Punyo hubungan absurd samo rahma yang tak terjemahkan samo uwong awam. (Karena mas nya Ariska adalah mas yang kece dan masih 'available' sampe postingan ini di buat. Hahaha).

Tami: No many words to describe. Tapi yang aku tau dio ini ambisius, pinter, rada cuek samo peradaban sekitar. Hobi dewekan. Tapi mase kategori baek lah. (Nah, she's my partner in my final task).

Ledy: Sikok ini partner in crime aku. Cocok nian men soal watak. Diajak waras payo, diajak gilo jadi. Paling montok, bohay, sekseh. Duplikatnyo Syahrini (ulalaaa~) tapi mudah bingsal, sekalinyo bingsal seluruh jagad raya hancur lebur dibuatnyo. Tanyola Rahma men dak cayo.

Dwi: Badannyo paling kecik diantara kami, tapi bakal duluan yang nak nikah. Paling diandalke soal kendaraan, soalnyo dio yang ado mobil (jangan bayangke kalo dio bawak bus Layo. Dio cuma bawak mobil pribadi). Paling awet kalo pacaran. Teliti, jadi andalan dosen. Imut, cantik, bersih, pecak batu akik baru diasah. (Hahaha di sini aku dak abis pikir samo pemikiran Kiki).

Siti: Sikok ini keturunan Tinghoa , tapi muslim. Bejilbab pulok. Kawan aku nian waktu bikin skripsi. Kecik, lincah pecak belalang. Lompat sano lompat sini, singgonyo gesit nian geraknyo. Paling getol kalo nyari duet. Tapi aku salut nian, mungkin dio ini la kawan aku yang paling berjuang buat kuliahnyo. (Menurut aku jugo, dio hebat biso terus kuliah dengan sebagian besar biaya dari hasil usaha dio dewek).

Gimme hugs, guys. Miss u till suck!"

Aku masih terus berpikir dari dulu, kalau dia rajin menulis kismis (kisah-kisah miris) kami seperti ini, mungkin dia akan benar-benar berteman dengan Raditya Dika dan menjadi gadis terkocak sejagad Indonesia!

Nah, what if I don't miss you like you do? Oke ini ngaco bener. How can I not miss you and others after all the good, the bad and the hardest times during our study in college? Oh I miss you all guys, too!!! Nah, can you all just take me out from this skripsweet and live in your 'new life', too? :D




Jumat, 30 Januari 2015

Aku Bukan Fatimah, Apalagi Menjadi Khadijah

Karena aku (dan akhlakku) tidak bisa menjadi seperti Khadijah sehingga mampu dan yakin meminang seorang Muhammad (SAW), maka aku memilih menunggu saja seperti Fatimah yang dipinang Ali. Meskipun mendekati sepertinya saja aku bagai seekor kupu-kupu yang berharap terbang melintas awan setinggi elang.

Bahkan Rasulullah SAW sendiri sudah ditunjukkan bersama Jibril bahwa yang banyak menempati neraka adalah kaum perempuan. Aku sendiri hina, tidak seperti perempuan tersuci Maryam, bukan seorang Asiyah, bukan pula Fatimah, apalagi menjadi seorang Khadijah. Aku tak seperti keempat perempuan pilihan penghuni surga itu. Sungguh jauh. Karenanyalah tentu kami selalu berharap bertemu engkau yang lebih baik akhlaknya diantara yang terbaik, yang bisa menuntun kami menjadi perempuan yang layak bahkan dari mencium baunya surga hingga ikut layak tinggal di dalamnya. Bukan yang hanya jalan ditempat berputar dan ikut berkubang dengan kesenangan sesaat dunia.

F. F. K.

Selasa, 13 Januari 2015

Dalam Hujan Aksara

Tidak ada yang tidak pernah menangis.
Semua kita menangis saat tersadar menghirup udara dunia yang pekat.
Tersadar harus berjuang hingga mengucap selamat kepada kematian.
Lalu, bagaimana dengan perempuan itu?
Dia juga sama.
Tidak ada perempuan yang tidak pernah menangis.
Sebagai seorang perempuan, sebagai seorang anak pertama, sebagai seorang kakak pula, dan sebagai individu yang menanggung masing-masing beban, ketahuilah.
Tak mungkin ia tidak pernah menangis.
Mungkin dia memang terlihat tegar.
Mungkin dia terlihat kuat.
Terlebih kadang sikap apa adanya mengganggu dan nampak kasar.
Mungkin dia terlihat tabah.
Tapi, memang begitulah manusia.
Menyembunyikan hal-hal yang terkadang semua orang sudah mengetahuinya.
Mungkin dia memang tidak menangis dengan air mata.
Tapi sejujurnya, jika kau memang mengenal dan mengerti pribadinya, ketahuilah.
Dia sudah sangat sering menangis.
Bersembunyi dalam lebat hutan harapan.
Meski hanya dalam kata-kata. Dalam hujan aksara.

F. F. K.

Bye for Now (Maybe)

Hujan adalah salah satu sahabat terbaik para pujangga. Hujan juga merupakan teman terbaikku. Banyak kata-kata, juga kelebat hayalan ngawur yang terlintas kala milyaran titik air itu jatuh bebas ke bumi.

Hah... Itu tulisan waktu hujan tadi. Tapi karena saya hidup hanya mengandalkan wifi, jadilah tiga kalimat tersebut dipendam dulu, terhenti tiba-tiba. Fyuh, jadi lupa mau menulis apa di sini siang tadi. Padahal, momen hujan adalah momen terbaik bagi banyak orang yang suka menumpahruahkan pikiran-pikiran dan kata-kata (sok) puitis yang ada di dalam kepala mereka. Begitu juga aku, biasanya. Tapi siang tadi, ketika listrik seperti biasa dipadamkan di daerah kami jika hujan sudah membawa Pangeran Angin dan Raja Petir, maka kujadikan saja ia momen terbaik yang sudah cukup lama tidak kulakukan ketika ia hadir ataupun tidak. Tidur siang. Mendekapku erat dalam kesejukannya. Melupakan sejenak data skripsi yang sudah muak kulihat siang dan malam. Mengenyahkan sejenak pertanyaan ayah ibu--selalu saja mengurusi sidang teman-teman, kamu sendiri kapan?--yang cukup membingungkan. Yah, sekian saja. Mungkin kapan-kapan aku akan menepati janjiku pada diri sendiri, untuk membuat sebuah postingan yang mungkin berguna jika ada satu-dua pengelana aksara yang lewat dan mampir.

ARRIVEDERCI! AU REVOIR!
Maybe.

Sabtu, 10 Januari 2015

Sedikit Lebih Lagi

Jika dikatakan bisa menangis, tentu bisa kulakukan. Jika dikatakan ingin menangis, aku sudah sangat ingin. Tapi aku sudah terbiasa berkata tidak harus menangis pada diri sendiri meskipun aku sudah sangat ingin. Hingga pada titik ini aku malah sibuk mengutak-atik aksara di sini alih-alih menangis. Kadang aku lupa betapa leganya perasaan setelah menangis. Sejujurnya menangis itu menyehatkan, jika sesuai kondisi dan kebutuhannya. Saat menangis, manusia mengeluarkan zat-zat kimia yang tidak baik bagi tubuh sehingga timbul perasaan lega setelah berurai air mata. Aku kadang cukup malu untuk melakukan itu meskipun sendirian. Terlebih aku pernah berjanji untuk tidak lagi asal menangis atas hal-hal yang tidak perlu ditangisi. Imbasnya, aku menitikkan sangat sedikit air mata, atau bahkan ia hanya menggenang saja di pelupuk ketika ada hal-hal khusus yang bisa membuatku terharu. Imbasnya, ada banyak rasa tertumpuk dalam hati.

Mereka bilang perbedaan orang yang gagal dan orang yang berhasil hanyalah terletak pada niat dan sedikit usaha lebih. Orang yang berhasil adalah mereka, orang-orang yang hampir gagal tapi tetap terus bertahan dan sabar melangkah hingga tanpa disadari mereka sampai ke titik akhir satu perjalanan mereka. Aku? Aku adalah orang yang hampir gagal dan patah semangat, tapi masih terus berusaha untuk mengikuti jejak-jejak mereka yang sudah berhasil ke titik akhir sebuah perjalanan yang sama dan berulang-ulang ini. Dan aku masih tetap belum mau dan belum saatnya untuk menangis. Ada lebih banyak yang seharusnya lebih menangis daripada aku tapi mereka tetap bertahan.

Aku hanya harus sedikit lebih bersabar lagi. Sedikit lebih tekun lagi. Sedikit lebih berusaha lagi. Sedikit lebih semangat lagi. Sedikit lebih bertahan lagi. Sedikit lebih menguatkan dan menghibur diri sendiri lagi. Ya, sekarang cukup dengan rumus andalanku sendiri, sedikit lebih lagi. Lalu di akhirnya, aku akan sangat berterima kasih kepada Allah SWT. yang tetap setia menyelamatkan aku dari keputusasaan. Dan aku akan sangat berterima kasih kepada diriku sendiri, untuk mau tetap percaya, berharap, bertahan dan berusaha sedikit lebih lama lagi melihat titik keberhasilan dalam hidupku yang rasanya jauh di ujung jalan.

Dan semoga aku tetap bertahan untuk tidak menangisi hal yang seharusnya tidak terlalu sulit ini hingga tiba di akhirnya karena akan ada lebih banyak hal yang patut ditangisi dikemudian hari. Semoga.

Minggu, 04 Januari 2015

Untukmu, Ibu Dunia Akhiratku

Lima puluh tahun yang lalu, seorang bayi suci dilahirkan dari rahim seorang ibu.

Empat puluh delapan tahun yang lalu, kau belajar menjadi seorang kakak pertama.

Dua puluh enam tahun lalu, kau membanggakan kedua orang tuamu dengan menghadiahkan mereka gelar Insinyur mu sebagai seorang sarjana pertanian.

Dua puluh tiga tahun yang lalu, kau mulai kehidupan barumu sebagai seorang istri dan bersamanya berusaha membangun sebuah keluarga yang bahagia dan selalu di ridhoi-Nya.

Dua puluh dua tahun yang lalu, Ia melengkapi hidupmu, kewajiban dan tanggung jawabmu dengan menganugerahkan seorang bayi perempuan yang sangat kecil itu. Lalu kau berikan ia nama sebagai salah satu doa terindah yang kudengar, 'Seorang perempuan yang semoga mulia dan memuliakan keluarga bagai sebuah permata yang indah untuk Ibu dan Ayah'.

Enam belas tahun yang lalu, kau kembali dikaruniakan seorang putra yang tampan, setelah hampir meregang nyawa dan tetap berdiri tegar menahan kesakitan demi menjaga putra berusia satu minggu mu yang harus dimasukkan begitu banyak selang infus di ubun-ubunnya. Lalu kau berikan ia nama sebagai salah satu dari doa terindah lainnya yang kudengar, 'Sebuah permulaan untuk dan akan selalu diberkahi rezeki yang mulia dan semoga menjadi imam yang mengikuti tauladan Rasulullah Muhammad SAW'.

Setelah lima puluh tahun berlalu, begitu banyak cerita dan perjalanan, tipu daya zaman, pahit dan manis kehidupan yang telah kau lewati.

Lima puluh tahun telah berlalu, usiamu tak lagi muda, tenagamu tak lagi kuat, kulitmu mulai menua, meskipun kami tau betul otakmu sungguh masih sangat luar biasa pintarnya. Terkadang sedikit rambut putih itu ingin menguasaimu namun tak kuasa.

Lima puluh tahun usiamu kini, Ibu.
Maafkan aku yang belum bisa membanggakan mu dan ayah.
Maafkan aku yang masih belum bisa memberimu hadiah sebuah gelar sarjana itu di lima puluh tahunmu ini.
Maafkan aku yang masih belum bisa menjadi seorang anak yang cukup baik selama ini.
Maafkan aku yang masih sangat kekanakan di usia yang bukan anak-anak lagi kini.
Maafkan aku yang terlalu banyak salah kepadamu.
Maafkan kami yang masih sangat menyusahkanmu.
Maafkan kami yang takkan bisa membalas cinta dan pengorbanan suci dunia akhiratmu.
Selamat hari kelahiran, Ibu.
Selamat hari ibu terkhusus untukmu, Ibu.
Semoga Allah SWT selalu melimpahkan kasih dan sayang, ridho dan perlindungan dunia akhirat atas kehidupanmu, Ibu.

Mungkin dengan tulisan, aku bisa lebih jujur dan lugas menyatakan.

Kami yang mencintaimu, Ibu ...